Ma'rifat Sebagai Tujuan Tasawuf

Tinjauan umum ma’rifah

Imam al-ghzali dan Abu Ali Zainundin Al-fanani, mengatakan bahwa pembinaan pribadi dengan menggunakan dengan ajaran tasawuf, dapat melalui dua macam tahapan. Yaitu tahapan pembinaan aspek lahir; berupa kesopanan terhadap sesama mahluk yang disebut dengan mengamalkan pergaulan yang sopan santun terhadap sesama mahluk, dengan cara berbuat sesuatu yang baik.

Al-Junayd sendiri mengatakan , ma’rifah terdiri dari dua macam tingkatan ; yaitu sebagai has perenungan tentang ciptaan allah, yang disebut dengan “al-ta’rif” dan hasil pengungkapan diri secara langsing dari allah, yang disebut dengan “atta’aruf.

Maqam dan hal untuk mencapai ma’rifah

Peserta tasawuf yang akan melalui perjalanan sepritulanya, harus berniat dengan memurinikan keimanannya, melakukan taubat nasuha, melakukan zuhud dan melakukan ibadah secara terus menerus; baik ibadah lahir maupun ibadah batin. Khusus ibadah batin (dzikir dan tafakur) harus di perkuat dengan 4 macam sikap dan prilaku; yatu: Mengurangi perkataan, Mengurangi makan, Mengurangi tidur dan Meng isolir diri

Dzikir dan tafakur untuk ma’rifah

Dzikir dan tafakur merupakan amalan peserta tasawuf untuk memperoleh ma’rifah. Berdzikir dengan cara dan metode tertentu, yang telah di tetapkan oleh masing-masing penganut tarekat, dengan waktu tertentu dan jumlah dzikir yang harus diulang-ulangi.

Kondisi Fana dan Baqa dan Ma’rifah

Fana berarti lenyap (musnah) dan baqa artinya tetap (kekal). Fana dan baqo selalu menyatu dalam kondisi kerohanian tertentu. Fana merupakan permulaannya, sedangkan baqo merupakan perjalanannya, tetapi keduanya tidak pernah diselingi oleh kondisi kerohanian yang lain,

Kondisi Yaqin degan ma’rifah

Timbulnya keyakinan terhadap kebenaran yang dihadapi oleh peserta tasawuf, di awali oleh kondisi muhadharah yang telah didapatkan degan pengetahuan hati, yang di sebut ilmu al-yaqin. Ketika penglihatan batin tetap dan menimbulkan keyakinan yang sangat pasti, maka itu lah yang disebut mshahadah; yaitu penglihatan batin yang sebenarnya, karna hamba dan tuhannya langsung bertatapan. Kondisi bathin ini disebut haqq Al-yaqin.

Tajalli dengan Ma’rifah

Tajalli merupakan kondisi kerohanian yang dapat menyaksikan cahaya penjelmaan yang maha kuasa dalam ciptaannya, yang di sebut Al-Tajalli fii Af’al Allah.

Secara berturut-turut tingkatan ajalli dari tingkatan pertama hingga yang ketiga, lalu menanjakan kepada tingakatan ke-4 (tajalli dalam zatnya), lalu menjadi tiga macam kondisi yang dialami oleh sufi :

1. Kondisi penyatuan hamba degan tuhannya
2. Kondisi peniadaan sesuatu, lalu muncul zat yang esa, maka dialah satu-satunya yang ada
3. Kondisi penyatuan kembali hambanya dengan tuhannya, sehingga perilaku dan ucapan hamba,

Ittihad, Hulul dan Wihdatu Al-wujud dengan Ma’rifah

Ittihada adalah kondisi penyatuan hamba degan tuhannya, setelah melalui peniadaan diri, penyaksian, penemuan zat dengan rasa kenikmatan yang luar biasa, maka ini juga yang di sebut kebahagiaan yang tinggi ( alsa’addatu al-quswa) atau kebahagiaan yang sempurna (tamammu al-sa’addah)

Jam’u dan Farqu degan ma’rifah

Arti jam’u berbeda dengan ittihad, jam’u artinya bersatu sedangkan ittihad artinya menyatu, sedangkan farqu artinya pembeda, tapi dalam taswuf di artikan perbedaan hamba dengan tuhannya pengalaman mistik.

Ma’rifah sebagai tujuan tasawuf

Ma’rifah adalah kondisi kerohanian sufi yang sedang menyaksikan kebenaran mutlak dari allah. Ma’rifah didahului oleh kecintaan kepada allah yaitu kecintaan yang mendorong hamba untuk menempuh jalan menuju kepadanya

Hikmah yang didapat leh seorang sufi setelah ma’rifa adalah semakin memperkuat imannya, iman yang ada dalam dirinya takan lagi berkurang tetapi selamanya meningkat.