Kitab Al Ikhya Ulumuddin: Tingkatan Halal dan Haram



Kita telah mengetahui, bahwa sesuatu yang haram itu buruk dan keji,tapi sebagian ada juga yang lebih buruk, lebih jelek dari yang lainnya. Demikian juga segala segala sesuatu yang halal itu baik dan bagus, tetapi sebagian ada yang lebih baik dan lebih bagus dari yang lainnya, bahkan ada yang lebih bersih dan lebih murni. Khusus terhadap sesuatu yang haram kita harus menjahuinya sejauh – jauhnya. Oleh sebab itu seorang yang hendak menghidari dari keharaman itu bertingkat – tingkat pula keadaannya. 

Ada yang takut melakukan haram itu sesuai dengan apa yang telah difatwakan oelh alim ulama dan ada yang takut menempuh jalan yang diragukan akan mendatangkan jalan keharaman apabila dilaluinnya; bahkan ada pula yang sekalipun tiada samar lagi tentang kehalalannya, namun masih takut kalau mendatanginya itu akan membawa kepada keharaman. 

Adapula yang meninggalkan sesuatu itu sebenarnya tidak mengapa kalau dilakukan, semata – mata karena takut pada sesuatu yang tidak mengapa kalau dilalui. Dan yang terakhir ada orang yang bukan hanya takut melaksanakn sesuatu karena berdosa, tetapi takut pula kalau – kalau memperolehnya (melaksanakannya) bukan karena allah atau tidak didasarkan pada tawakkal.

Sebagian orang salaf dahulu memiliki uang sejumlah seratus dirham yang masih ada ditangan sahabatnya. Setelah uang itu diberikan, tiba – tiba ia hany mengambil 99 dirham saja. Ia takut menerima yang semestinya diterima, sebab khawatir kalau – kalau ia menerima sesuatu tambahan yang tidak dibenarkan dalam agamanya. 

Diantara mereka pula, apabila mereka melakukan perdagangan jual beli selalu mengurangi sebiji dari takaran/ timbangan apabila mereka (orang salaf) menjadi pembeli dan mereka menambah sebiji dari takaran apabila menjadi sebagai penjual. Dan diantara mereka adapula yang terus menerus berhati – hati mengenal apa – apa yang oleh orang lain. 

Sekalipun hal yang semacam ini halal hukumnya menurut fatwa – fatwa yang diperolehnya. Jadi ini dilakukannya semata – mata karena takutnya, kalau – kalau dengan demikian ia membuka pintu untuk membuat kekurangan orang lain, sedang hatinya akan terbiasa suka menerima kelebihan dan meninnggalkan kewara’an.

Bahkan ada diantara orang –orang salaf terdahulu yang karena takut kepada allah sehingga engkau mengambil debu yang menempel dinding rumahnya sendiri, karena rumah tersebut adalah rumah sewa milik orang lain.

Pernah diriwayatkan bahwa kholifah Umar bin Abdul Aziz yang pad suatu ketika dihadapannya sedang ditakarkan minyak kasturi untuk seluruh kaum muslimin, kemudian beliau menutupi hidungnya sehinngga sedikitpun baunya tidak dapat masukkedalam lubang hidungnya, dan setelah minyak wangi itu dijauhkan dari sisinya, lalu atas pertanyaan kawan – kawannya, ia mengatakan : “ya, apakah minyak wangi tiu dapat diambil manfaatnya selain baunnya?”. Diantara mereka (ulama salaf) ada pula seorang yang sedang menunggui orang yang hendak meniggal dunia, setelah diwaktu malamnya orang yang ditunggui tadi benar – benar pulang kerahmatullah, lalu ia berkata “ matikan saja lampunnya itu, sebab ahli awrinya lah yang lebih behak menerima minyak didalam lampu tersebut.”

Ada suatu cerita tentang seorang ulam yang bernama Ibnu Sirin, ia meninggalkan untuk seorang kongsinya uang sebanyak 4000 dirham, sebab dalah hatinya merasa kurang enak dan amat diragu – ragukan, padahal seluruh alim ulama telah sepakat bahwa hal itu perlu dilakukan.

Pada zaman Rosulullah, pernah cucu beliau yang bernama Hasan bin Ali dilihatnya mengambil sebiji dari buah kurma dari hasi sedekah atau zakat, saat itu dia masih kecil, tiba – tiba Rosulullah meluhatnya dan beliau bersabda “buang, buang kurma itu” itupun dikeluarkan dari mulutnya, Abu Bakar Ashiddiq pernah memuntahan dengan sengaja air susu yang telah diminumnya dari pemebrian seorang hamba sahaya, sebab ia tahu bahwa susu tadi diperolehnya dari hasil upah hamba sahaya tadi ramalan pada seseorang. 

Hal ini ia lakakun karena saking takutnya kemasukan sesuatu yang haram dalam tubuh Ali dan taku akan mengurangi kekuatan tubuhnya. Padahal jelas bahwa ia meminumnya dengan tidak wajib mengeluarkannya dari mulutnya. Namun demikian mengosongkan perut dari sesuatu yang busuk adalah termasuk cara kewaro’an orang – orang semacam Ashidiq tersebut.
Sumber : benang tipis antara halal dan haram/ Imam Al-Ghozali