Kisah Santri Imam Abu Hanifah Saat Keliru Memberikan Fatwa, Ini yang Dilakukannya



ISAMCORNER.ID - Suatu saat, Imam Hasan bin Ziyad diminta memberikan fatwa tentang suatu masalah. Ia menjawab pertanyaan penanya sesuai dengan apa yang ia ketahui.

Tetapi setelah si penanya pergi, Hasan bin Ziyad merasa ragu dengan jawabannya. Ia menyadari bahwa fatwanya salah. Ia ingin memperbaiki fatwa tersebut, tetapi si penanya sudah pergi dan ia tidak tahu siapa orangnya.

Apa yang kemudian dilakukan oleh Hasan bin Ziyad? Inilah kebaikannya.

Hasan bin Ziyad membayar seseorang untuk memanggil di tempat-tempat ramai: "Hasan bin Ziyad diminta fatwa pada hari tertentu, jam tertentu tentang suatu masalah dan ia salah dalam memberikan fatwa. Orang yang merasa meminta fatwa pada Hasan bin Ziyad pada waktu itu datanglah kembali menemuinya."

Setiap hari, panggilan tersebut disorakkan, dan selama itu pula Hasan bin Ziyad berhenti memberikan fatwa. Hingga akhirnya ia bertemu kembali dengan si penanya dan menjelaskan bahwa fatwanya beberapa hari yang lalu adalah salah dan yang benar adalah seperti ini.

Kisah ini merupakan salah satu kisah yang sangat membekas bagi saya pribadi tentang kehati-hatian dan ketakutan seorang ulama dalam memberikan fatwa.

Hasan bin Ziyad adalah murid langsung dari Imam Abu Hanifah. Kefahamannya tidak diragukan lagi. Namun yang lebih hebat adalah bagaimana orang yang begitu terhormat ini rela memperbaiki diri ketika salah.

Secara terang-terangan, ia "mempermalukan diri" dengan meminta orang untuk menyatakan bahwa ia salah dalam memberikan fatwa. Bahkan sampai berhari-hari lamanya dan ia membayar orang untuk itu.

Jika kita berada dalam posisi yang sama, apakah kita mampu melakukan hal yang sama?

Dari sini, kita dapat memahami mengapa orang yang ingin tampil sebagai ahli agama di masyarakat harus sudah matang terlebih dahulu, tidak hanya dari sisi keilmuan, tapi juga dari sisi ketakwaan. Dan itu membutuhkan proses yang panjang

Orang yang telah matang dari kedua sisi ini, selalu sadar bahwa menjadi ulama rujukan memiliki pahala yang sangat besar, tetapi juga membawa ancaman yang luar biasa jika tidak dilakukan dengan benar.

Mengakui kesalahan di depan umum berpotensi menurunkan citra dan nama baik di mata orang yang memuja, atau bahkan dikritik habis-habisan oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Karirnya bisa terhenti. Pandangan orang-orang yang selama ini memuja bisa berubah seketika.

Fatwa yang diberikan secara cepat dan tidak terlalu hati-hati, seringkali disampaikan kepada banyak orang dan dapat dilihat di berbagai media serta dikonsumsi oleh jutaan orang. Ini menimbulkan risiko yang lebih besar dibandingkan fatwa pribadi yang mungkin tidak memiliki dampak yang terlalu besar di dunia atau tidak diketahui oleh banyak orang. bagi orang yang mengandalkan dukungan atau pujian orang lain sebagai sumber penghidupan, mempertanggungjawabkan diri secara terbuka di hadapan umum mungkin merupakan hal yang sangat menakutkan. Namun bagi orang yang telah memahami nilai-nilai keislaman dan ketakwaan, tidak ada yang lebih penting daripada menghadapi murka Allah ketika salah dalam menyampaikan ajaran agama-Nya. Kepentingan pertanggungjawaban kepada Allah lebih besar daripada pertanggungjawaban kepada manusia.

Bagaimana dengan orang-orang yang selama ini menyebarkan ajaran-ajaran sesat?

Bagaimana dengan orang-orang yang menyebarkan ketidakpastian dan kebimbangan yang membuat orang meragukan ajaran agama? Bagaimana cara menanggung jawab terhadap tindakan tersebut? Apakah hanya dengan meminta maaf kepada publik? Apakah sejak awal ada niat untuk meminta maaf dan memperbaiki pendapat di depan publik? Bagaimana dengan orang-orang yang telah membenarkan ketidakpastian tersebut?

Untuk masalah agama, ini sangat berat. Jika mungkin, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk tampil jika belum benar-benar menjadi ahli. Jika terpaksa tampil karena tekanan situasi, jangan bicara tentang masalah yang belum dikuasai dengan matang. Dan jika salah, jangan menunggu sampai viral terlebih dahulu untuk memperbaiki.

***